Untuk lelaki
pengagum warna putih, yang kupanggil sayang, tapi memanggilku sobat...
Aku tahu surat ini takkan mungkin sampai
ketanganmu. Tapi izinkan aku bercerita kepadamu lewat tulisan yang akan ku
larungkan bersama sampah di selokan kecil depan rumahku.
Ini cerita tentang aku dan kamu, tapi bukan
kita.
Kamu dalam balutan jas putih dan stetoskop di
tangan. Pernah kulihat di loby rumah sakit tersenyum ramah. Berbincang dengan
anak kecil dengan perban di tangannya. Wajah teduhmu menghadirkan kedamaian.
Kedamaian yang sama dihadapanku, empat tahun lalu.
Kedamaian yang dulu selalu kamu hadirkan
dalam hidupku. Tiba-tiba berubah menjadi kecemasan dan kegelisahan. Perjumpaan
yang jarang menjadi penyebabnya. Dulu, enam jam dalam sehari, enam hari dalam seminggu,
aku dan kamu bersama. Kini, jangan tanya berapa waktu yang kupunya bersamamu.
Hampir tak ada.
Dua minggu sekali kamu baru bisa menemuiku.
Itu pun hanya dua jam di sabtu malam. Karena lebih banyak waktu yang kamu
habiskan bersama teman-temanmu. Kesibukan kuliah dan banyak tugas menjadi
alasanmu.
Setengah tahun berjalan, kamu mulai tak ada
waktu untukku. Praktek di rumah sakit di malam hari dan segunung aktifitasmu di
luar sana lagi-lagi menjadi alasannya. Masih ada sms, telepon, dan facebook,
katamu. Aku maklum, semangatmu mengejar cita-cita membuatmu jarang menemuiku.
Hingga aku tersadar, sudah dua bulan kamu tak
menemuiku. Tak juga ada sms dan telepon darimu. Aku terus menunggu. Bahkan
tepat di hari ulang tahunku, tak ada lagi kejutan kue ulang tahun darimu. Hanya
ucapan selamat ulang tahun dan permintaan maaf lewat sms sehari setelahnya.
Hari berikutnya, aku habiskan untuk terus
mengingatmu. Lewat kenangan, lewat potongan-potongan kejadian yang aku dan kamu
lalui bersama. Kegelisahanku bertambah besar.
Empat tahun berlalu, sejak perkenalan
pertama di tingkat dua dengan seragam putih abu-abu. Rasa yang kumiliki,
diam-diam semakin besar. Kebersamaan yang kamu rajut bersamamu. Tanpa sadar
membuatku merasa memilikimu. Hingga kamu menyadarkanku dengan kenyataan yang
bertentangan dengan harapanku.
Malam itu disebuah resepsi pernikahan seorang
teman, aku melihatmu mengandeng mesra seorang gadis. Kamu menyapaku dan
memperkenalkannya sebagai kekasihmu. Aku mengumbar senyum palsu.
"Doain ya sob, biar cepet nyusul ke
pelaminan." Aku membeku.
Empat tahun aku dan kamu, tapi tak pernah
menjadi kita. Tapi baru empat bulan kamu dan dia menjadi kami. Empat tahun berlalu, cinta yang tak berbalas
ini harus diakhiri. Walau bukan akhir yang indah. Tapi biarkan kenangan akan
dirimu hanyut bersama tumpukan sampah menuju laut.
dari perempuan pengagummu,
yang kau panggil sobat, tapi
memanggilmu sayang...
Tuhan sudah menyiapkan yang lebih baik. Hanya masalah waktu.
ReplyDelete