Saturday 26 December 2015

, ,

[Fiksi] Surat Untuk Pria Hujan

 
Dear pria hujan,
 
Aku menulis surat ini untukmu, bersama hujan yang belakangan ini sering mendatangi senjaku.

Apa kabar, Sayang? Ah, aku lupa. Kamu tak pernah suka basa-basi itu. Tapi semoga kamu baik-baik saja tanpaku. 
 
Bagaimana dengan kotamu? Apakah di sana juga sering hujan? Hujan yang mendendangkan lagu rindu yang membuatku mengigil.

Sayang, bolehkah aku bernostalgia dengan kenangan kita dulu?

Ingatkah kamu pada pertemuan pertama kita? Suatu siang yang panas di bulan Juli, kamu menyodorkan cappuccino dingin padaku. Entah dari mana kamu tahu minuman kesukaanku itu.

"Aku hanya menebaknya, Arum." Itu alasanmu waktu itu. Tapi dari mana kamu tahu namaku? Kamu seperti cenayang, membuatku merinding. Jangan-jangan kamu orang jahat. Namun sorot mata dan keteduhan wajahmu menepis prasangka burukku.

Beberapa detik kemudian kita terlibat obrolan seru. Tentang cappuccino kesukaanku, tentang film terbaru sampai tentang hujan yang kamu suka. Pria hujan, itu sebutanku untukmu.

Sayang,

Ketika sebuah peluit panjang terdengar, kita pun harus berpisah. "Keretaku sudah datang. Aku harus pergi." Ada perasaan kecewa dari wajahku. Kita baru berkenalan tapi secepat ini harus berpisah.

"Jarak bukan alasan. Di dunia modern, kita masih bisa terhubung lewat mana sajakan? Oh ya, namaku Satya." Kamu tersenyum, menyadari aku sudah merindukanmu bahkan sebelum kamu pergi. Aku mengangguk pelan dengan pipi merah merona. Semoga saja kamu tak menyadarinya waktu itu, Sayang.

Di bangku panjang peron stasiun kota, peluit panjang kereta memisahkan kita. Kamu harus meneruskan perjalananmu. Kamu melambaikan tangan, lalu aku berbalik pulang. Seseorang yang aku tunggu tak datang.

Sayang,

Sebulan berlalu dan aku lupa pernah mengenal sosokmu. Sampai suatu senja kamu menyapaku di dunia maya. Aku tak mengenalimu, karena tak ada foto di akun twittermu. Tapi kemudian kamu berbicara tentang peron stasiun, tentang cappuccino dan tentang hujan.

"Cappuccino dingin menjadi tiket perkenalanku dengan gadis cantik yang sedang menunggu seseorang di stasiun kota. Lalu peluit panjang kereta memisahkan kita. Ia menjadi saksi perkenalan dan perpisahan itu. Aku belum beranjak, tapi kamu sudah merindukanku"

Ah, kamu pria hujanku.

Setelah itu, setiap senja aku sudah duduk manis di depan laptopku. Menunggu sapaan hangatmu lewat dunia maya. Lalu perlahan itu menjadi kebiasaan kita di ujung senjaku.

Sayang,

Tiga bulan berjalan dengan cepat, sampai hal mengejutkan itu terjadi. Kamu muncul di depan rumahku. "Satya? Dari mana kamu tahu rumahku?"

"Itu tak penting sekarang. Aku merindukanmu, jadi aku menemuimu." Ah, kamu benar-benar seperti cenayang. Tapi aku senang, karena aku juga sangat merindukanmu.

"Aku sudah di sini, apa kamu tidak mengajakku masuk? Atau kita langsung jalan-jalan?" Tanyamu dengan senyuman itu saat memergokiku melamun.

"Apa ada tempat yang ingin kamu datangi?"

"Tidak, tapi kemanapun itu selama bersamamu."

Lalu mulailah kita menyusuri kota kecilku. Kuajak kau melihat koleksi kebanggaan kotaku di Museum Batik. Saat itu kamu sangat senang, karena aku tahu kau menyukai hal-hal etnik. Lalu kita berfoto di depan gedung tua dan bergandengan tangan sepanjang perjalanan.

Waktu berlalu terlalu cepat memisahkan kita, kamu hanya sehari di kotaku dan harus kembali ke kotamu. Perpisahan itu terjadi lagi, di peron stasiun kota. Kamu melambaikan tangan dan aku tersenyum bahagia.

Aku tidak tahu status hubungan kita. Tapi aku tak peduli. Bagiku kehadiranmu setiap pagi di telepon dan sapaan sayangmu di twitter, selama kamu selalu ada buatku, itu sudah cukup. Aku menikmati cara kita.

Sayang,

Akhirnya hal yang aku takutkan terjadi juga. Dering telepon yang membangunkanku setiap pagi, mulai jarang kuterima. Sapaan hangat di ujung senjaku yang dingin, mulai jarang kudapat. Pelan tapi pasti, semua terjadi begitu saja.

Suatu senja di bulan November yang mendung, kudapati sapaan mesra seorang wanita di akun twittermu. Awalnya aku pura-pura tak tahu. Tapi semakin aku berusaha melupakannya, semakin aku geliah. Kuberanikan diri untuk bertanya padamu.

"Dia hanya teman kerjaku. Apa kamu tak percaya padaku, Arum?" Jika kamu sudah menyebut namaku, itu artinya kamu sungguh-sungguh.

Tapi lain waktu, kutemukan foto mesramu dengan seorang wanita di akun twitter temanmu. Kutanyakan itu padamu. Kali ini kamu tak bisa menjawab. Lalu perlahan hubungan kita berjarak, dan kamu tak lagi aktif di dunia maya.

Kamu tahu, bagaimana perasaanku saat itu? Hatiku hampa. Tapi aku tetap menunggu jawabmu. Aku masih percaya padamu. Berharap kamu tiba-tiba muncul di depanku seperti waktu itu dan mengatakan kalau kemesraan itu hanya kebohongan.

Namun harapan tinggal harapan. Kamu hanya memberiku penjelasan pendek lewat pesan singkat.

"Aku mencintaimu. Tapi maaf sayang. Ternyata tak cukup hanya cinta untuk membuat kita bersatu. Jarak diantara kita terlalu jauh. Perjalanan yang harus aku tempuh untuk melampiaskan kerinduanku sangat panjang."

Hanya itu yang kamu katakan saat itu. Aku sudah tak sanggup lagi berkata.

Sayang,

Apakah kamu tahu seperti apa rasa sakitku? Sakit sekali. Hatiku seperti terhempas dari langit ke tujuh. Patah, bahkan hancur berkeping-keping. Hatiku sudah mati saat itu.

Mungkin aku terlalu percaya pada ilusi yang kau buat. Pada angan dan mimpi romantisme drama yang terjadi dalam hidupku. Hingga dengan mudah aku percaya sepenuhnya pada cinta semu yang kamu berikan.

Mungkin cinta ini terlalu gila untuk diwujudkan dalam nyata kita. Karena ternyata aku bukan pemeran utama dalam drama yang kau buat. Kamu jadikan aku pemeran pengganti yang bisa kamu ganti dengan wanita mana saja. Namun akhirnya aku harus merelakan kamu pergi, karena tak cukup hanya aku yang berjuang untuk hubungan kita.

Sayang,

Aku menulis surat ini di bangku panjang peron stasiun. Dengan penaku, dengan kenangan-kenangan indah tentang kita. Dengan cappuccino dingin dan hujan di bulan November.

. . . . dari pengagum senja nomer satu
Share:

9 comments: