Saturday 19 December 2015

, ,

[Cerpen] Selamat Tinggal, Jogja


Kupandangi sebuah foto berlatar senja di lorong stasiun. Foto kenangan kamu dan aku, semasa kita bersama. Tak akan pernah kulupakan masa-masa itu, masa indah bersamamu. Aku ingat duduk di kursi panjang bersama senja jingga menunggu keretamu datang.

Ketika peluit panjang itu berbunyi, kamu di pintu kereta melambaikan tangan padaku. Tak ada pelukan hangat, hanya senyum yang menentramkan hati. Kita keluar stasiun sambil bergandengan tangan. Tapi hujan tiba-tiba turun.

Kita berpandangan, mata kita beradu. Tanpa dikomando kita berlari di bawah hujan. Bukan mencari tempat berteduh, tapi menikmati hujan bersama. Basah kuyup kita berlarian menuju rumahmu dengan senyum terukir di bibir manismu. Kita tertawa.

Keesokan harinya, aku jatuh sakit. Apakah kamu masih ingat, betapa khawatirnya kau saat itu? Sampai-sampai kamu memaksaku pindah dari tempatku menginap dan membiarkanku tinggal di rumahmu. "Agar ada yang menjagaku," katamu. 

Sejak saat itu, ibumu mengizinkanku tinggal bersamanya. Menemaninya yang tinggal sendiri karena kamu yang memilih merantau. Aku merasa bahagia, dan kurasa juga kamu. 

Apakah kamu masih mengingat masa-masa itu? Sebuah pertanyaan mengelitik hatiku. 

Sentuhan tanganmu menyadarkanku. Sudah berapa lama aku melamun tanpa menyadari kedatangan kalian. Aku tersenyum, tapi ada awan mendung di pelupuk matamu. Menghadirkan suasana sendu di ruang tamu yang sebentar lagi akan kutinggalkan.

Kau memelukku, disusul ibu dan mas Zidan. Namun dengan perasaan yang berbeda. "Kamu tidak bisa nunggu sampai minggu depan, Nduk?" Aku menggeleng. "Atau pas hari pernikahan Via sama Zidan, kamu balik lagi ke sini. Nanti tiketnya biar ibu yang bayar."

"Tidak, Bu. Nanti malah merepotkan ibu," aku tak tahu harus memberi alasan apa lagi. "Terima kasih, Bu. Selama tinggal di Jogja, ibu mengizinkan Kinan tinggal di sini. Via sama mas Zidan juga baik banget sama Kinan. Terima kasih banyak, maaf kalau Kinan sering merepotkan kalian."

"Tidak perlu sungkan, kamu sudah ibu anggap seperti anak ibu sendiri. Kalau ke Jogja lagi, jangan lupa main ke rumah. Ini rumah kamu juga." Berulang kali ibu mengusap punggung tanganku, kebiasaannya ketika sedang gelisah. "Jaga diri baik-baik, kalau ada apa-apa kabarin ibu ya." Aku mengangguk, menyakinkan mereka bahwa semuanya baik-baik saja. 

Kulihat mas Zidan mengandeng tanganmu mesra. "Biar saya antar ya?" Dia menawarkan, tapi aku menggeleng.

"Nggak usah, Mas. Biar aku aja yang nganter Kinan," kamu menolaknya dengan halus.

Setelah berpamitan dengan mereka di rumah, kamu mengantarku hingga ke stasiun. Sepanjang jalan kita membisu. Diam dalam pikiran masing-masing. Hanya tangan yang masih bertautan, sangat erat. "Tidak terasa tinggal minggu depan ya," aku memulai basa-basi. Namun kamu malah memelototiku. "Aku tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja bukan?"

"Tak bisakah kamu datang?" Lagi-lagi pertanyaan itu. Bukankah sudah berulang kali kau tanyakan itu? Jawabanku tetap sama.

"Tidak untuk hari itu, Via." Kamu belum kapok dengan penolakanku rupanya. "Mungkin tidak juga untuk hari-hari berikutnya."

"Nggak bisakah kita tetap bersama setelah itu, Kinan?" Kamu masih belum menyerah membujukku.

"Tidak, Via. Cukup sampai di sini. Dari awal harusnya kamu tahu hubungan kita akan berakhir seperti ini. Aku tidak ingin menyakiti lebih banyak orang lagi, terutama ibu. Beliau sudah seperti ibu kandung bagiku, karena itu aku tidak ingin mengecewakannya lagi." Tak ada lagi obrolan, kita hanya diam sambil bergandengan tangan menuju peron stasiun. Menikmati satu-satunya waktu yang kita punya. Sebelum kamu mengikat janji suci bersama mas Zidan, lelaki pilihan ibu.

Di sinilah kita harus berpisah lagi. Bukan kamu yang pergi mengejar mimpimu di kota lain, tapi aku. Aku harus meninggalkan kota ini, mencari kota lain untuk kusinggahi. Tempat sementara lari dari kenyataan hidup. Seperti yang kulakukan dulu, sebelum bertemu denganmu dan menetap sementara di Jogja.

Peluit kedatangan kereta api kembali berbunyi. "Itu keretaku," gerimis sudah turun ke pipimu. "Mempelai wanita tidak boleh bersedih di hari bahagianya nanti," hanya kata itu yang keluar dari bibirku. 

Kamu memelukku untuk terakhir kali. Mataku menerawang jauh ke depan dengan terpaan sinar jingga di peron stasiun, senja yang sama seperti satu tahun yang lalu. Kita akan kembali berpisah, mungkin ini untuk selamanya.

Selamat tinggal kursi panjang, tempatku menunggumu. Selamat tinggal peron stasiun yang setia menghadirkan kamu di antara ribuan orang di gerbong kereta. Aku melambaikan tangan padamu yang tak berkedip menatapku sampai kereta yang membawaku menjauh dari stasiun.

Selamat tinggal, Jogja.

***

PS. Cerpen ini pernah di posting di blogku sebelumnya dengan sedikit perubahan. Mohon kritik dan sarannya :) Btw, aku baru sadar kalau nama tokoh utama di cerpen ini adalah Kinan. Nama yang juga menjadi tokoh utama di cerita fiksi Kau dan Aku Berbeda  dan Satu Detik Terlama.

Share:

3 comments:

  1. Bingung nih..kamu itu siapa..laki atau perempuan. Perlu baca ulang hahaha

    ReplyDelete
  2. menurutku udah bagus cerpenya.
    ngomongin jogja jadi inget jogja.

    ReplyDelete