Friday 11 March 2016

, ,

[Cerpen] Goodbye


“Aku sudah di Jogja.”

Aku sedang menunggu dosen pembimbingku saat dia mengirim pesan itu. Pesan singkat yang membuat waktu menungguku jadi terasa lebih lama. Sangat lama.

“Aku mau bertemu dengan dosen pembimbingku dulu, kamu bisa menunggu?” Tak lama berselang ia membalasnya dengan sangat singkat. “Oke.”

Ahh, lagi-lagi waktu mempermainkanku. Empat tahun aku menunggunya kembali ke Jogja. Mengapa lagi-lagi aku harus menunggu saat ia sudah di sini? Aku mengulas senyum menyadari ketidaksabaranku.

Bayanganku kembali pada masa-masa indah itu, bersama Arka.

Ya, Arka.

Aku mengenalnya sejak memakai seragam putih abu-abu. Sosoknya yang tinggi di atas rata-rata menarik perhatianku. Perkenalan kami di klub musik berlanjut di luar sekolah. Dia yang terlihat pendiam, ternyata menyimpan banyak senyum dan tawa.

Tawanya yang nyaring membuat orang-orang di sekitarnya ikut tertawa. Tawa yang kemudian selalu menghiasi hari-hariku. Menarik segala perasaan duka dan membuatku tersenyum sepanjang hari.

Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di Jogja. Sedangkan Arka memutuskan ke Belanda untuk mengejar mimpi besarnya yang lebih terbuka lebar di sana.

Tak mudah menjalani hubungan jarak jauh. Sekalipun dengan segala teknologi yang canggih. Bertatap muka secara langsung dan merasakan kehadirannya di sampingku adalah hal yang kurindukan.

Hari ini, aku dan Arka berjanji untuk bertemu.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia kembali ke Jogja. Kami akan menelusuri lagi kota yang penuh kenangan. Kota kelahirannya. Kota yang mempertemukan aku dan dia. Kota yang menjadi kota kita.

***

Setelah menyelesaikan urusan dengan dosen, aku bergegas pulang ke rumah. Tak sabar rasanya melihat wajahnya setelah lama tak bertemu. Masih samakah seperti empat tahun lalu?

Ahh, Arka.

Aku senyum-senyum sendiri membayangkannya.

Aku segera turun saat bus sampai di halte dekat rumah. Langkahku terhenti ketika melihat Arka di sana. Dia menungguku. Aku memandangnya tanpa berkedip. Empat tahun tak bertemu, aku masih bisa mengenalinya dengan baik. Kami masih saling berhubungan lewat pesan, foto-foto yang dikirim dan video call.

Dengan celana jeans favoritnya dan kaos abu-abu, ia berjalan menghampiriku. Wajahnya penuh tawa. “Sudah lama nunggu?” tanyaku berbasa-basi.

“Sudah dua jam aku di sini. Jadi donor darah buat nyamuk-nyamuk nakal itu, sampai digodain cewek-cewek abg di ujung sana.” Aku tak bisa menahan tawa dari leluconnya. Saat itu juga aku menyadari, ia masih Arka-ku yang dulu.

Aku berada di sebelahnya, berjalan di samping Arka. Kami melangkah menyusuri jalanan menuju ke rumahku. Ketika sampai di taman dekat rumah, aku menarik tangannya memaksanya singgah di taman itu.

“Main ayunan yuk,” pintaku.

“Kebiasaan lama tidak bisa diubah ya?” ledek Arka.

“Nggak ada larangankan kalau orang dewasa nggak boleh main ayunan?” aku meliriknya tajam, tapi ia sudah duduk duluan di ayunan itu.

Dia masih Arka yang dulu. Lebih banyak bertindak dari pada berkata. Kata-katanya keluar hanya untuk membuat lelucon yang lebih sering garing, tapi selalu bisa membuatku tertawa. Mungkin ia lebih cocok jadi komika, jadi aku bisa melihatnya lebih sering lewat layar televisi.

“Akhirnya kamu kembali, Ka?” Tanyaku pelan. “Setelah empat tahun kamu pergi dan berulang kali aku meminta?”

Arka tidak menjawab, ia hanya menatapku. Lalu berpaling menatap ujung sepatunya, matanya meredup. Perasaan asing menyusup dalam hatiku. Tatapan mata yang tak aku mengerti.

“Ingat saat pertama kali ke sini?”

“Ya.” Arka mengangguk. “Enam tahun lalu.”

“Enam tahun bersama, empat tahun terpisah jarak dan perlahan mulai berubah.”

“Semua orang pasti berubah, Rania. Tidak ada yang stagnan di dunia ini. Termasuk kita yang akan berubah seiring waktu.”

“Tapi tidak dengan cinta, Ka.” Aku menyentuh punggung tangannya.

Arka mengenggam tanganku perlahan. “Rania, cinta seperti apa yang kamu maksud? Cinta kita tak pernah berubah. Aku masih menyayangimu seperti dulu.”

Aku menatap matanya yang selalu berbinar. Mata dan ekspresi wajah yang dari dulu tak pernah bisa kutebak. Membuatku sulit mengartikan perasaannya padaku.

“Seperti empat tahun lalu. Seperti enam tahun yang lalu. Rania, aku menyayangimu. Cinta dari seorang sahabat.”

Cinta dari seorang sahabat, itu juga yang Arka katakan saat terakhir kami bicara. Setelah itu, dia tak lagi membalas pesan dan telponku. Kami terputus. Berulang kali aku memintanya kembali ke Jogja.

***

Rintik hujan mulai turun dan membasahi baju yang kami pakai. Hembusan angin yang terasa dingin, membuatku membeku di sini. Lama kami terdiam, menikmati gerimis. Juga menikmati satu-satunya waktu yang kami miliki.

“Aku tidak akan kembali ke Jogja...” kata Arka.

Aku berdiri, menatap matanya yang bening. Setetes butiran bening membasahi pipiku, bercampur dengan gerimis yang berubah menjadi hujan. Seperti ada petir yang menyambar hatiku.

Arka membalas tatapanku. Kami berdiri berhadapan, kurasakan tubuhku bergetar. Lalu ia menarikku dalam pelukkannya. Membiarkan hujan yang semakin derat mengguyur tubuh kami. Di sinilah aku harus merelakannya pergi.


Share:

11 comments:

  1. Terus dosen pembimbingnya g diajak maen ayunan juga ???
    Wah kasian ya
    Empat tahun berpisah tpi rasa masih sama
    Hmmm moga menang y, nanti kalo menang hadiahnya buat saya
    Asikk
    Huahuahua

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Thanks bang Niki :)
      Ehhh udah dipalak aja nih :( Hehehe

      Delete
  2. Hujan...

    Kadang selalu ada hal dalam derasnya air yg turun itu. Jika di inginkan, semoga arka kembali kepelukanmu..

    Jika tidak, semoga kamu dapet penggantinya. :)

    ReplyDelete
  3. Jogja....kota yang kurasa memiliki berjuta kenangan ondah baik pait ya mba :)

    ReplyDelete
  4. Ooh berarti selama ini mereka hanya berteman aja ya mbak? :o
    *tiba-tiba baper*

    ReplyDelete
  5. Ini ceritanya sedang nunggu dosen ya mbak....woow pekerjaan yang bikin bete, tapi g apalah sapa tahu ada sesuatu yang lebih di balik mas dosen tersebut

    ReplyDelete
  6. Salam sama Mas dosen ya mbak...

    ReplyDelete
  7. saya dulu punya temen yang karakter nulisnya kaya mbak ini, unik..
    hmm salam kenal mbak, blognya sudah saya follow..

    ReplyDelete
  8. Romantisme Jogja. Ah, ternyata ...

    Terimakasih sudah berpartisipasi :)

    ReplyDelete